Konservasi Lontar

Authors

  • Anak Agung Gde Alit Geria IKIP PGRI Bali

Keywords:

lontar, sakral-religius, konservasi, restorasi, dan adiluhung.

Abstract

Bali adalah gudang penyimpanan lontar atau identik dengan filologi alam. Sejak adanya budaya lontar, Bali telah aktif dalam produksi lontar, yakni dari mengelola rontal siap tulis hingga lontar siap baca. Menyalin ke rontal baru terus dilakukan hingga kini. Betapa tinggi loyalitas orang Bali terhadap budaya lontar yang sarat akan pelbagai ajaran adiluhung dan segala aspek kehidupan keseharian. Namun, usaha untuk perawatan atau konservasi secara fisik belum dilakukan secara maksimal. Dilakukan setiap enam bulan, ketika pekan Saraswati tiba. Kegiatan membaca lontar atau ngalembar, secara tidak disadari telah melakukan konservasi terhadap fisik lontar, walau sifatnya sangat sederhana. Tradisi budaya tulis menulis di atas rontal di Bali telah berlangsung sejak zaman silam. Ribuan lontar di Bali, ditulis di atas daun tal dengan sistem pemeliharaan yang sangat sederhana sebelum mendapat sentuhan teori filologi dan kodikologi. Sejumlah teks lontar menyebut istilah tal atau rontal sebagai bahan tulis ampuh dan tahan lama.  Dalam perspektif budaya dan masyarakat Bali sastra (baca: lontar) lebih dipandang sebagai suatu yang suci, arkais, dan sakral-religius. Dengan kata lain, seorang yang akan menggeluti dunia lontar, dituntut memiliki pengetahuan moral-spritual dan religius yang memadai serta harus disucikan secara lahir batin. Banyak lontar telah berusia tua dalam kondisi yang memprihatinkan, seperti pelapukan, berlubang-lubang, retak-retak, patah-patah, sisi tidak merata, dan sebagainya. Karenanya, usaha penyelamatan warisan lontar seperti itu sangat perlu dilakukan konservasi. Kegiatan ini menitikberatkan pada pembersihan secara fisik, reparasi, restorasi, penataan, dan penyimpanan. Pekerjaan ini mesti dilakukan dengan tekun, hati-hati serta membutuhkan pengalaman dan latihan yang intensif. Seorang konservator mesti berjiwa besar, seni, berperasaan halus, paham akan estetika, dan memiliki loyalitas tinggi terhadap warisan budaya bangsa.

References

Agastia, IBG. 1982. Sastra Jawa Kuna dan Kita. Denpasar: Wyasa Sanggraha.
Dureau J.M. and DWG Clements, 1988. Principles for the Preservation and Conservation of Library Materials. The Haque, IFLA.
Felldem, B.M. 1979. Introduction to Conservatin, Unesco, Rome.
Hadi, Sutrisno. 1983. Metodelogi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
Helen, Price, 1989. Stopping the Rot: A handbook of Preventive Conservation for local Studies Collection, second edition, Australian Library and Information Association NSW Branch, sydney.
Jelantik, IB. dan IB. Putu Suamba. 2002. “Ida Wayan Oka Granoka: Seni sebagai Ritus”. Cintamani, Edisi 06 Tahun I: 50-52.
Mangunwijaya, Y.B. 1982. Sastra dan Religiusitas. Jakarta: Sinar Harapan.
Muhammadin Razak, dkk, 1995. Petunjuk Teknis Pelestarian BahanPustaka. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.
Medera, I Nengah. 1997. Kakawin dan Mabebasan di Bali. Denpasar: Upada Sastra.
Molen, W. Van Der. 1983. Javaanse Tekstkritiek een overzicht en een nieuwe benadering geillustreerd aan de Kunjarakarna. Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal.
Moleong, Lexy J. 1998. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Robson, S.O. 1978. “The Kawi Classic in Bali”. BKI. 128. 308-329.
Robson, S.O. 1978. “Pengkajian Sastra-Sastra Tradisional Indonesia” Dalam Bahasa dan Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tuuk, H.N van der. 1887-1912. Kawi Balineesch Nederlandsch Woordenboek. 4 volumes. Batavia: Landsdrukkerij.
Sharma, Mukunda Madhava. 1987. “The Teori of Rasa in Sanskrit Literature” , dalam Sekar Sataman, (Peny. IGN. Bagus). Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Zoetmulser, P.J. 1983 dan 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Cetakan ke-1 dan ke-2. Jakarta: Djambatan

Downloads

Published

2019-12-01